Mengejar Cita-Cita dan Kampung Inggris Pare
Syaiful Anshor. Koresponden Suara Hidayatullah 2012
Banyak orang belajar bahasa Inggris ke “Kampung Inggris Pare”. Tujuan mereka hanya mengejar cita-cita: melanjutkan kuliah, kerja di luar negeri, dan mengajar.
Jarum jam menunjukkan pukul 05.15 WIB. Desa Tulungrejo Pare-Kediri masih diselimuti hawa dingin. Jalan-jalan pun sepi. Hanya beberapa orang jalan kaki dan naik sepeda. Terdengar pula teriakan orang menghafal kosa kata bahasa Inggris dari berbagai sudut. Seperti yang terdengar kala itu, seorang tutor (guru) mengomando murid-muridnya menghafal kosa kata bahasa Inggris.
“Happiness,” kata seorang tutor yang kemudian diikuti para murid dengan serentak dan semangat. Lalu, setelah itu, sang tutor memberikan contoh dalam bentuk kalimat, “Money cannot buy happiness.”
Di tengah pagi yang sejuk dan teriakan orang yang menghafal itu, Muhammad Nurfindra keluar dari rumah kosnya. Ia mengenakan celana hitam dan kaos oblong dengan satu buku tulis di tangan kanannya. Tampak semangat tergambar di wajahnya yang berseri-seri. Ia lalu mengambil sepeda tua berwarna hitam. Sepeda sewaan seharga Rp 60 ribu per bulan itu langsung digenjotnya. Sekejap ia hilang di balik pertigaan Jalan Dahlia menuju tempat kursusnya.
Alumnus Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar jurusan Perikanan yang akrab disapa Findra ini sedang belajar grammar selama dua bulan. Jauh-jauh ia datang dari Makassar ke Pare, Kediri hanya untuk belajar bahasa Inggris. “Bahasa Inggris sangat penting. Sekarang hampir semua bidang dibutuhkan kecakapan bahasa Inggris. Terlebih bila mau lanjut kuliah, harus punya toefl score paling tidak 500,” ujarnya kepada Suara Hidayatullah.
Tujuan Findra belajar bahasa Inggris untuk melanjutkan kuliah magister perikanan di Unhas. Di Pare, rencananya ia belajar selama tiga bulan untuk mempelajari structure, syntax, speaking, toefl, dan translation. Meski singkat, namun ia yakin bisa mendapatkan hasil maksimal.
Ada banyak alasan kenapa Pare menjadi pilihan Findra belajar bahasa Inggris. Menurutnya, selain murah, Pare juga memberikan semangat belajar tersendiri. Mereka pun berbicara dengan bahasa Inggris setiap harinya. Sedangkan untuk biaya makan cukup murah. Per hari, ia menghabiskan Rp 10 ribu. Begitu juga biaya kursus hanya Rp 300 ribu untuk dua bulan. “Kalau tempat kursus di Makassar mahal. Bisa jutaan lebih per bulan. Karena itu, biaya kursus di sini masih relatif murah,” ujarnya.
Sama halnya dengan Findra, Muhammad Syukron, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir tahun 2012 ini belajar bahasa Inggris untuk keperluan S2-nya. Kendati telah menguasai bahasa Arab dan ilmu Hadits, tapi ia merasa belum cukup bila belum menguasai bahasa Inggris. “Untuk kuliah lagi dibutuhkan bahasa Inggris. Banyak referensi yang ditulis dengan bahasa Inggris,” katanya.
Sarjana Tafsir dan Hadits dari negeri yang terkenal sebagai ibunya dunia (ummud dunya) ini ingin melanjutkan magister Haditsnya di UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta.
Seperti Findra, lajang kelahiran 1986 ini mengambil program grammar. Program ini diambilnya karena efektif dan cepat. Selain itu, lelaki yang akrab disapa Syakir ini juga mengambil program terjemah Inggris-Indonesia.
Andi Darsal, alumnus IAIN Sultan Alaudin Makassar ini juga sengaja datang jauh-jauh dari Makassar untuk belajar bahasa Arab. “Meski alumnus Perguruan Tinggi Islam, tapi bahasa Arabku masih blank. Karena itu, saya ambil kursus di sini,” tuturnya.
Rencananya setelah paham bahasa Arab, Andi akan melanjutkan magisternya di Jurusan Tarbiyah di kampus almamaternya dulu. Di Pare, Andi belajar di lembaga bahasa Arab, mengambil program nahwu, sharaf, dan muhadatsah (percapakan). Per hari jadwal pelajaranya sekitar empat kali pertemuan. Cukup padat. “Agak pusing juga belajar bahasa Arab. Masalahnya harus menghafal terus. Nahwu dan sharaf banyak tugas hafalannya,” ujarnya sambil tersenyum dan menunjukkan beberapa lembar tugas hafalan yang ia tulis dengan tangan sendiri.
Pare juga dimanfaatkan bagi para pelajar yang hendak menembus perguruan tinggi negeri. Karena itu, di bulan Kelulusan Ujian Nasional, biasanya selalu ramai oleh pelajar. Mereka memanfaatkan waktu kosong sambil menunggu ujian masuk perguruan tinggi. Seperti Ahmad Sofyan. Lelaki asal Batu Raja, Sumatera Selatan ini sengaja belajar untuk persiapan kuliah. Ia telah mendaftar kuliah di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta jurusan hukum. “Semoga diterima dan menjadi ahli hukum yang baik,” ujar lelaki yang hafidz al-Qur`an ini.
Berkah Bagi Masyarakat
Di Pare memang telah lama berdiri banyak lembaga kursus bahasa Inggris. Menurut Mr.Muhammad Kalend Osen, pendiri Basic English Course (BEC), lembaga kursus bahasa Inggris tertua di Pare, ada sekitar 114 lembaga kursus. Bak cendawan di musim hujan, tapi tidak pernah kehabisan murid.
Hampir setiap lembaga kursus memiliki program yang berbeda. Ada yang per paket dengan tempo yang lama. Tapi, ada juga yang hanya per bulan dengan berbagai program pilihan yang bisa diambil sesuai kebutuhan dan waktu siswa. Untuk BEC sendiri hanya menyediakan program paket. Di sini, kata Mr Kalend, murid harus mengikuti program dari awal hingga selesai.
Masing-masing kursus memiliki keunggulan berbeda-beda. Ada yang fokus di speaking, grammar, dan toefl. Ada juga yang memiliki semuanya.
Keberadaan lembaga-lembaga kursus itu tidak bisa dipungkiri menjadi berkah bagi masyarakat sekitar. Mereka membuka peluang berbagai macam usaha dari rental sepeda onthel, laundry, kos-kosan, warung makan, toko buku, toko baju, warung internet, serta penjual makanan dan minuman keliling. Masyarakat pun berlomba-lomba memanfaatkan peluang tersebut.
Seperti yang dilakukan Umi. Mantan tenaga kerja wanita ini memanfaatkan rumahnya yang berada di Jalan Asparaga untuk kos-kosan. Rumah itu bisa menghidupi kebutuhan sehari-harinya, bahkan lebih. Selain jasa kos-kosan, ia juga menjual nasi bagi penghuni kos.
Mulai Memudar
Menurut salah seorang tutor yang telah tinggal di Pare sekitar empat tahun, kondisi Pare mulai berubah. Dulu, sebelum tahun 2008-an, lingkungan Pare seperti pesantren. Hampir semua pelajar perempuan berjilbab. “Ketika awal-awal saya di sini, kebanyakan perempuan kalau tak pakai jilbab malu sendiri. Karena hampir semuanya berjilbab,” ujarnya mengenang.
Namun, sekarang berbeda. Tidak sedikit pelajar perempuan yang mengumbar auratnya bahkan memakai rok dan celana pendek. Pergaulan di sini juga harus betul-betul dijaga. Perubahan itu juga dirasakan Mr.Kalend. Karena itu, ia pun meminta agar pemilik kursus menjaga budaya dan keislaman anak didiknya. “Saya selalu menghimbau mereka setiap ada pertemuan,” ujarnya.
Oleh karena itu, khusus BEC, katanya, mewajibkan pelajar perempuannya berjilbab dan dilarang memakai celana jeans ketat. Tempat duduk laki-laki dan perempuan juga dipisah. Semua muridnya juga harus berpakaian rapi. Ia berharap, kampung Inggris tetap murah, nyaman, dan menjaga budaya dan nilai-nilai keislaman.
*Reposting Artikel Suara Hidayatullah
Mengejar Cita-Cita dari Kampung Inggris Pare